Jumat, 10 April 2009

Workshop Perkeretaapian

Forum Menyamakan Persepsi Stakeholders


Para pemangku kepentingan perkeretaapian nasional awal Februari lalu menyelenggarakan workshop sehari. Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Bhakti Ganesha (YBG) bekerjasama dengan Dirjen Perkeretaanpian dan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu bertujuan mencari masukan dari stakeholders untuk perkembangan dunia perkeretaapian nasional.


Menurut Sekretaris organisasi komite workshop perkeretaapian nasional, Krishna Amier Hamzah, workshop ini merupakan amanah bagi YBG sebagai institusi yang konsen terhadap dunia perkeretapian. “Diharapkan event ini dapat memunculkan beberapa pemikiran dari para alumni ITB 77,” ujar Krishna sambil menambahkan bahwa pak dirjen Perkeretaapian sering menggunakan pemikiran teman-teman alumni ITB 77.


Ketua YBG Djasli Djamarus menambahkan, YBG tahun lalu pun terlibat dalam acara round table keselamatan kereta api. Pada acara itu – teman-teman dari alumni ITB 77 – membuat pemetaan sebab-sebab terjadi kecelakaan kereta api. Kemudian data tersebut dikirim ke Dirjen Perkeretaapian.


Sementara Ketua Steering Committee workshop perkeretaapian nasional, Idwan Santoso mengatakan bahwa Indonesia mempunyai modal yang baik dari sisi kereta api. Sejak abad 19 moda angkutan ini sudah ada dan berkembang. Kemudian kalau kita lihat, keadaannya terus menyusut-menyusut sampai tahun 2000-an. “Kebijakan pemerintah ini perlu didukung oleh sektor-sektor yang lain. Diperlukan persamaan persepsi,” kata Idwan serius. Forum ini merupakan salah satu bentuk untuk menyamakan persepsi.


Fenomena itu menunjukkan ada persoalan di dunia perkeretaapian. Oleh karena itu, Departemen Perhubungan membuat Direktorat Perketeraapian. Lalu, dilakukan investasi besar-besaran. Investasi yang besar tersebut, kata Idwan, tidak harus oleh Departemen, tapi juga oleh stakeholders yang lain.


Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, Direktorat Jendral Perkeretaapian, Departemen Perhubungan, Ir. Sugiadi Waluyo, ME mengatakan, masalah perkeretaapian tidak bisa hanya ditangani Dirjen Perkeretaapian saja. Semua stakeholders harus memikirkan dunia perkeretaapian Indonesia di masa mendatang.


Lebih lanjut ditambahkan, dunia perkeretaapian di Jakarta, misalnya, terus dikembangkan. Saat ini sudah dioperasikan kereta lingkar Jakarta (Blue Line). Tidak hanya itu, akan dibangun kereta apa menuju bandara. “Pembangunan ini akan segera dilelang,” kata Sugiadi kepada Ganesha Gazette di sela-sela acara workshop perkeretaapian nasional.


Bahkan, kata Sugiadi, jalur Jakarta – Bekasi akan dibangun double track, sehingga trayek ini menjadi empat jalur. Dengan demikian frekuensi kereta api lebih banyak. Dari Bekasi ke Gambir hanya memerlukan waktu setengah jam. “Kalau ini sudah berjalan, banyak orang Bekasi nggak mau naik mobil pribadi lagi, lebih baik naik kereta,” tambahnya serius.


Di Jakarta juga, kata Sugiadi, akan dibangun Mass Traffic Vehicle (MRV) dengan rute Lebak Bulus, Duku Atas menuju Stasiun Kota.. Ini merupakan kereta api cepat yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan di Jakarta. Proyek ini sudah ditenderkan untuk pekerjaan konsultan Engineering Design. Sumber dana dari proyek ini berasal dari soft loan Pemerintah Jepang sekitar Rp. 8 triliun dengan bunga sekitar 1%.


Karena loan proyek ini dari Jepang, konsultannya juga dari Jepang. Menurut Sugiadi diperlukan waktu pekerjaan konsultan sekitar 14 bulan untuk membuat engineering design. Setelah itu, baru dilakukan kegiatan konstruksi.


Sementara mantan Direktur Teknik PT. Kereta Api Indonesia, Syahrizal Siregar, mengatakan swastanisasi dapat dilakukan tergantung sifat dari kegiatan itu. Jika kegiatan itu bisa dipecahkan orang per-orang , swastanisasi memang diperlukan. Tapi, kalau komuniti atau negara harus memecahkan permasalah itu, maka negara yang harus memecahkannya. “Kalau kereta api dengan investasi yang begitu besar dan negara lepas tangan, ya nggak bisa,” kata Syahrizal yang juga alumni ITB angkatan ‘70.


Menurut Syahrizal, privatisasi tidak lebih dari mobilisasi pengerahan investasi, karena belum bisa mengatur. Sebagai contoh, jalan tol tak lebih 2% dari total jalan negara. Ini artinya hanya 2% dana yang ditanggung pihak swasta, sisanya ditanggung negara.


Kenapa kereta api dianaktirikan dan dianggap si pengguna yang harus menanggung semua, bukan bagian dari infrastruktur? Padahal sektor ini pendukung/pendorong mobilitas bangsa dan pendorong logistik nasional.


Menurut Sugiadi, sejak tahun 2007, dunia perkeretaapian menggunakan Undang-Undang N0. 23 tahun 2007. Jika pada UU sebelumnya, menyebutkan penyelenggaraan perkeretaapian adalah pemerintah dan pelaksanaannya dilaksanakan PT. Kereta Api Indonesia. Sedangkan UU N0. 23 tahun 2007 ini pemerintah pusat hanya sebagai regulator dan pemerintah propensi diberi kewenangan. Nanti ada perkeretaapian nasional (Pusat), Propensi dan kabupaten.


Sedangkan dari segi Operator yang melaksanakan perketeraapian adalah badan usaha. Artinya ke depan akan ada operator-operator baru yang melaksanakan perkeretaapian. “Peraturan Pemerintahnya sedang dibahas. Mudah-mudahan bulan depan PP tersebut bisa disahkan,” katanya sambil menambahkan nantinya da dua institusi bisnis, yaitu operator yang menjalankan kereta api dan operator yang mengelola infrastruktur (jalan kereta api). Infratruktus tersebut dapat digunakan bersama dengan pendekatan business to business.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar