Jumat, 10 April 2009

Betti Setiastuti Alisjahbana (ITB AR 79)


Intrapreneurship Menjawab Krisis Ekonomi


Walaupun kondisi fundamental ekonomi Indonesia cukup baik, bukan berarti negeri ini aman dari dampak krisis keuangan di Amerika Serikat. Pemerintah harus menjaga perekonomi berjalan baik dengan menggerakkan sector riil. Sementara pelaku usaha dituntut kreatif dan inovatif di tengah krisis yang melanda saat ini. Bagaimana caranya?


Dunia yang terakumulasi dalam global village, menyebabkan Indonesia tak dapat mengelak dampak krisis keuangan yang terjadi di Negeri Paman Sam. Beberapa hal mulai terasa dari dampak tersebut adalah dana-dana investor luar negeri yang ditanam di bursa saham mulai ditarik si empunyanya ke negara asalnya. Akibatnya pasar saham turun sangat drastis di dalam negeri.


Tak hanya itu. Produk-produk yang berorientasi pasar ekspor mulai mengalami penurunan permintaan. Beberapa pengrajin furniture asal Jepara, misalnya, mulai seret order. Beberapa order furniture dari Amerika Serikat ternyata dibatalkan. “Kita mulai merasakan likuiditas mulai menurun,” ujar mantan President Director PT. IBM Indonesia, Betti Asetiastuti Alisjahbana kepada Ganesha Gazette, pertengahan Desember lalu di ruang kerjanya.


Akibat kondisi itu, investor lebih berhati-hati dalam menanamkan investasinya. Bahkan, dampaknya mulai terasa dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa perusahaan. “Dengan jatunya harga saham, banyak orang merasa kekayaannya menurun. Jika kekayaannya menurun, maka mereka lebih konservatif dalam melakukan spending. Hal ini akan mempengaruhi perputaran ekonomi,” kata Betti yang kini mendirikan usaha industri kreatif di bawah bendera PT. Quantum Business International.


Apalagi dengan rupiah yang terus melemah terhadap dollar. Hal ini menyebabkan harga bahan baku menjadi tinggi. Pemerintah harus menjaga rupiah jangan sampai terus melemah terhadap dollar. Sebab, bila rupiah terus melemah terhadap dollar, maka banyak industri yang terpengaruh terhadap hal itu.


Untungnya, fundamental ekonomi kita lebih baik dibandingkan dulu. Cadangan devisa mencapai US$ 52 milyar. Sementara rasio hutang terhadap GDP (Gross Domestic Product) sangat bagus. Saat ini tercatat rasio utang terhadap GDP mencapai 35%, sedangkan pada tahun 2001 rasio utang terhadap GDP sebesar 77%. “Rasio utang kita terhadap GDP paling bagus dibandingkan negara ASEAN,” kata Betti serius sambil menambahkan kondisi politik dalam negeri yang stabil juga menunjang fundamental ekonomi Indonesia. Yang kurang bagus adalahs sektor riil yang tidak ter-develop dan kurang perhatian.


Lebih lanjut ditambahkan ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah, yaitu menurunkan suku bunga dari 9% menjadi 7,5%. Kemudian pemerintah berusaha mempercepata government spending. Kabarnya belanja pemerintah akan dikucurkan sekitar Rp. 120 triliun sampai Desember ini. Langkah ini akan mendorong perputaran ekonomi. Yang lebih penting lagi adalah menjaga ekonomi agar sektor riilnya jalan. Usaha pemerintah harus difokuskan ke sektor itu.


Bandingkan dengan pemerintah China, misalnya. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, pemerintah melakukan investasi sebesar US$ 586 milyar sampai tahun 2010. “Saya pikir government spending dampaknya banyak, asalkan dilakukan di area riil industry, sehingga sustainable,” tegasnya lagi.


Oleh karena itu, tambahnya, pengurusan perizinan hendaknya dipermudah dan dipersingkat. Selain itu, ekonomi biaya tinggi dipangkas. Pemerintah juga harus mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) tanpa anggunan. Hal-hal demikian harus mendapat perhatian, karena kita butuh banyak perusahaan kecil dan menengah yang bergerak di sektor riil dan itu semua sustainable.


Menurut Betti kita perlu menggalakkan penggunaan produksi dalam negeri. Sebab, dalam kondisi krisis seperti ini, market di masing-masing negara menciut Tidak menutup kemungkinan China akan lebih agresif dalam memperluas pasar. “Mungkin barang-barang China yang murah akan membanjiri pasar di Indonesia. Kalau Indonesia tidak mampu membuat produk dalam negeri yang kompetitif, maka setengah mati kita menghadapi hal itu,” tegas Betti lagi.


Itu sebabnya, ia menyarankan agar spending di dalam negeri harus dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Jangan samapi spending tersebut – uangnya – kembali lari ke luar negeri untuk membeli produk-produk luar negeri.


Bagi Betti pribadi – yang dipercaya sebagai Duta Open source – senantiasa melakukan kampanye penggunaan open source dalam penggunaan peranti lunak produksi dalam negeri. Dalam situasi sulit seperti ini, penggunaan IT dengan open source sangat penting karena lebih efisien, kreatif dan inovatif. Pasalnya, open source menawarkan solusi sangat hemat (gratis-Red). “Saya sarankan pemerintah dan swasta menggunakan open source karena lisensinya gratis dan bisa menumbuhkan kemampuan IT lokal,” kata Betti sambil menambahkan sektor yang dapat membangun kemampuan lokal harus digalakkan.


Betti menambahkan, dalam kondisi krisis seperti ini, merupakan kesempatan membuang hal-hal yang jelek, membuat lebih gesit dan lebih lincah. Oleh karena itu, pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu dipangkas dan investasi dilakukan di tempat-tempat yang inovatif, strategis dan mempunyai keuntungan berlipat-lipat. “Mudah-mudahan krisis ini bisa mendorong pemerintah lebih efisien, biaya siluman dihilangkan approval–approval berbisnis dimudahkan, sehingga tumbuh ekonomi real,” jelas Betti.


Memang secara makro, diakui Indonesia bagus. Akan tetapi banyak sekali yang sifatnya hot money, di mana investor cepat sekali menarik dananya jika kondisi negaranya dalam keadaan buruk. Lain halnya jika investasinya ditanamkan di sektor yang bersifat jangka panjang, kondisi ekonomi akan lebih sustainable.


Mudah-mudahan dengan kejadian seperti ini akan menyadarkan semua pihak terhadap persepsi investasi. Sebelumnya investor dihadapi pilihan sulit! Sebagai gambaran pada tahun 1997, bila investor menanamkan investasinya di pasar modal, return-nya bisa mencapai di atas 50% setahun, sedangkan investasinya di sektor riil tidak mungkin sebesar itu. Ini yang menyebabkan masyarakat mempunyai kecendrungan investasi di pasar modal. “Dengan pasar saham yang turun, orang mulai berinvestasi di sektor riil,” ujar Betti.


Menurut Betti respon pelaku usaha dalam menghadapi krisis bermacam-macam. Ada yang melakukan pemotongan anggaran perusahaan, seperti melakukan PHK dan sebagainya. Tapi, ada yang melihat bahwa kondisi ini menjadi mereka lebih kreatif. Akibatnya lahirlah sejumlah inovasi untuk tetap mempertahankan hidup. Ada banyak perusahaan yang berhasil menawarkan suatu inovasi di dalam produknya dalam menjawab kebutuhan pasar.


Dalam kondisi krisis seperti ini, saran Betti, bagaimana memberdayakan karyawan untuk sama-sama mencari solusi demi kebaikan perusahan. Perusahaan perlu melakukan intrapreneurship atau merangsang karyawan melakukan inovasi. Dengan kata lain, apa yang dapat dilakukan perusahaan supaya bisa lebih efisien dan merespon kebutuhan pasar dalam situasi krisis dengan lebih baik. Diharapkan out put-nya bisa ke luar dengan produk-produk baru yang lebih inovatif dan mungkin menjawab kebutuhan konsumen yang saat ini dananya terbatas.


Biasanya inovasi muncul dalam kondisi terjepit. Karyawan yang mampu melihat perilaku pelanggan, didorong melakukan inovasi untuk menjawab kebutuhan konsumen dengan lebih bagus. “Untuh menumbuhan preneurship-preneurship di dalam perusahaan, memang harus ada fleksibelitas. Jangan sampai karyawan terkungkung tidak bisa berkembang,” tambah Istri Mario Alisjahbana yang juga alumni ITB jurusan Mesin, angkatan 78 ini serius. Perusahaan siap memberikan penghargaan kepada karyawan yang mengeluarkan ide-ide bila ide tersebut berhasil direalisasikan. Sedangkan kalau ide tersebut gagal direalisasikan karena sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka kita harus belajar dari kegagalan itu tanpa pelu menghukum habis-habisan.


Di samping itu, tambah Betti, harus dapat memproses keputusan dengan cepat. Sebab, bila proses pengambilan keputusan lambat, dapat menimbulkan sikap apatis karyawan. Dan yang tak kalah penting adalah siap melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan pasar.


Menurut Betti ada studi kasus menarik yang terjadi pada masa krisis ekonomi tahun 1997. Ia mengutip kasus tersebut dari Buku Turnaround. Best Practices from Indonesia Experience, yang ditulis oleh Rene T. Domingo dan Kristanto Santoso. Dalam sebuah kasus di buku tersebut disebutkan bahwa total penjualan motor di Indonesia pada tahun 1997/98 turun dari 1,8 juta unit menjadi 430.000 unit motor (turun 76%). Penjualan PT. Astra Honda Motor pada tahun itu merosot menjadi 266.000 unit motor atau hanya 25% dari total kapasitas pabrik.


Sementara pada tahun 1999 motor murah dari China masuk ke Indonesia dengan harga Rp. 6.000.000, padahal harga termurah motor AHM sebesar Rp. 11.000.000. Sudah marketnya menciut, competitor masuk dengan harga murah. “Saya pikir kondisi Indonesia saat ini mungkin bisa jadi seperti itu,” kata Betti. Pada tahun 2000 motor China berhasil merebut 18% pangsa pasar, sementara Honda turun dari 55% ke 45%.


Kemudian Honda meluncurkan motor bebek Legenda dengan harga Rp. 9.400.000 dengan tetap mempertahankan standar kualitas yang tinggi Honda yang dikenal selama ini. Tahun 1999 pasar mulai pulih dan tahun 2002 pangsa pasar Honda mulai meningkat kembali 57%.


Nah, yang bisa membuat Honda menjual produknya dengan murah adalah penggunaan komponen lokal. Sebelumnya Honda banyak menggunakan komponen impor. Kini kandungan lokal Hondah lebih dari 92%.. Ini yang dilakukan Honda dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 lalu.


Bagaimana prospek bisnis tahun 2009 di tengah bayang-bayang krisis keuangan? Menurut Betti pasar di Indonesia sangat besar, sementara sektor riil belum sepenuhnya berkembang. Jadi, masih banyak peluang bisnis yang belum sepenuhnya digarap. Di Industri kreatif, misalnya, peluangnya masih banyak. “Sebetulnya dengan dollar yang tinggi merupakan kesempatan mempromosikan produk-produk lokal,” kata Betti melihat peluang bisnis tahun 2009.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar