Jumat, 10 April 2009

Nisyawati (BI 77)

Revolusi

"Pabrik Gula Merah Putih"

Sudah Dimulai


Mudah-mudahan teman-teman masih tetap bersemangat membangun Indonesia tercinta ini. Saya jadi teringat perjalanan hidup keluarga saya yang semula ingin saya tuangkan dalam buku reuni 30 tahun ITB77 yang lalu.


Mungkin banyak teman-teman ITB77 yang tidak terlalu kenal saya, banyak teman mengatakan saya pendiam. Mungkin itu antara lain disebabkan oleh keadaan keluarga.


Ayah saya lulusan Sekolah Menengah Pertanian Bogor. Setelah lulus bekerja berpindah menangani pabrik gula. Saya mulai ingat waktu di pabrik gula Jatiroto Jawa Timur pada tahun 1963. Kemudian tahun 1964 atas permintaan Belanda yang waktu itu masih menangani banyak pabrik gula, ayah diminta pindah ke Pabrik gula Banjaratma Jawa Tengah untuk menjadi direktur di sana. Waktu itu saya belum mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Tapi seiring dengan berjalannya waktu saya menjadi sedikit-sedikit tahu.


Waktu suasana mulai ramai menjelang G30S PKI, ayah ditangkap polisi dan ditahan selama 1 tahu di Brebes. Menurut hasil pengadilan ayah bersalah memiliki senjata api tanpa surat-surat. Sore hari sebelum penangkapan, Ayah memang diberi pistol oleh seorang tentara yang katanya untuk jaga diri, kalau-kalau terjadi sesuatu. Rupanya kejadian itu merupakan siasat seseorang (kata kakak saya beliau oknum tentara) yang tidak ingin ayah menjadi direktur mengantikan dirinya yang sudah ada sebelumnya di pabrik gula tersebut dan orang tersebut menurut Belanda tidak berkompeten menjadi direktur.


Semua teman-teman ayah tahu kalau ayah sebenarnya difitnah, katanya semua orang-orang kejaksaan Brebes waktu itu mendapat sebuah motor Vespa baru. Ibu tak diperbolehkan menengok ayah walau sudah memohon dan menangis. Dan semua teman-teman ayah tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan tahun-tahun setelah itu teman-teman ayah tak ada yang berani membantu untuk memulihkan nama baiknya. Padahal menteri pertanian Toyib Hadiwijaya kata ayah adalah teman sekolahnya.


Dapat dibayangkan ibu dengan membawa 6 orang anak, yang terakhir masih bayi, harus meninggalkan pabrik gula kembali ke orang tuanya ke Bandung. Banyak uang yang sudah ibu habiskan untuk menengok ayah, membayar pengacara yang tak ada hasilnya. Tahun berganti tahun keluarga kami hanya bisa jual-beli (jual barang yang ada di rumah dan beli beras untuk makan). Walau setelah ayah keluar dari penjara tidak pernah lagi bekerja di pabrik gula dan kami benar-benar hidup dalam kesusahan, TUHAN tetap sayang kepada kami. Alhamdulillah kami semua pernah sekolah di ITB, meskipun kakak yang nomor satu dan dua tidak sampai mendapatkan gelar dari ITB karena keterbatasan dana. Saya masuk biologi juga atas saran ayah karena beliau tahu biodiversitas yang Indonesia miliki sangat luar biasa.


Ayah telah berpulang kepada-NYA 10 tahun yang lalu bersama keihlasannya dan keihlasan kami dalam menjalani hidup yang telah digariskan-NYA.


Kembali ke pabrik gula dan juga pabrik-pabrik lainnya untuk perkebunan apapun yg ada di Indonesia masalah terbesar ada di mental "SEBAGIAN" bangsa Indonesia sendiri yang senang memeras/menindas orang yang bisa diperas dan ditindas. Apapun sistemnya kalau mandor memeras dan menindas petani, pabrik gula atau yang lain tidak akan maju dan berkembang. Petani tebu kalau tidak nyogok mador tebunya tidak dipanen dan segera digiling, padahal untuk hasil yang optimal tebu harus dipanen sesuai umurnya. Kalau umurnya lewat dibeli dengan harga murah dengan alasan kualitasnya jelek. Lalu kapan petani kita bisa maju dan hidup dengan layak? Percayalah bahwa Indonesia itu sebenarnya memang kaya. Oleh karena itu kita tetap harus bekerja keras sesuai dengan tuntunan-NYA.


Sekali lagi BRAVO buat teman-teman yang selalu berusaha berbuat baik dan memikirkan orang lain.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar