Kamis, 09 April 2009

Djaelani Sutomo (MS 77)


Mindset di Jabatan Baru ini

Tidak Berubah


Dalam tempo satu minggu ia mampu menguasai persoalan yang baru dihadapi. Pengalaman menduduki sejumlah posisi manajerial di Pertamina, memudahkannya Memperbaiki sistem di Pertamina Tongkang.


Memimpin PT. Pertamina Tongkang merupakan sesuatu tantangan bagi Djaelani Sutomo. Sejak 25 tahun bekerja di Pertamina, selalu berkutat di bidang pemasaran dan sekali di laboraturium. Tapi, kepercayaan ini justru menjadi tantangan tersendiri. Yang jelas, pengalaman menduduki posisi manajerial di divisi BBM dan ritel, lubricant dan sebagainya menjadi modal memimpin anak perusahaan Pertamina itu.


Pertamina Tongkang agak tenggelam, karena tidak pernah kelihatan kiprahnya. Padahal bila dilihat dari sisi bisnis perusahaan ini luar biasa. “Saya merasa tidak ‘tenggelam’ amat, karena di sini larinya juga ke marketing,” lanjut alumni ITB angkatan 77 jurusan Teknik Mesin sambil menambahkan mindset-nya tidak berubah.. Walau pun bidang usahanya lebih banyak ke jasa, yaitu menyewakan kapal tongkang, keagenan kapal dan pengelolaan pelabuhan khusus PSC (Production Sharing Contract).


Bila di Pertamina Tongkang lebih banyak pendekatannya dari sisi B to B. Bukan berarti Djaelani tidak berpengalaman dalam menangani operasional B to B. Di Pemasaran, terutama di lubricant ia lebih banyak menangani B to B, walaupun sering menangani operasional B to C.


Ketika masuk ke Pertamina Tongkang, seakan masuk ke dalam sesuatu yang gelap. Ia sempat merenung selama seminggu tanpa berbuat apa-apa. Perenungan tersebut untuk mengetahui fenomena yang ada di sini. “Setelah itu, saya sudah bisa berbicara! Teman-teman saya bingung, dalam waktu singkat Bapak sudah dapat menguasai permasalahan,” katanya.


Menurut Djaelani komunikasi di dalam perusahaan buruk sekali. Semuanya tidak ada ukuran. Mindset-nya hanya profit. Tetapi, sistematika di dalam perusahaan tidak berjalan, sehingga bila pihak holding ‘mengejar’ kinerja perusahaan, dijawab hanya untung. Tapi, untungnya berapa? “Hitungannya sangat bias, karena tidak ada transparansi,” tegas Djaelani serius.


Ia melihat pihak manajemen hanya menguber profit, tapi tidak pernah melihat sisi yang lainnya. Padahal keuntungan perusahaan tidak hanya di atas kertas. Hal ini sangat berbahaya. Oleh karena itu, harus dibuatkan sistem yang jelas. Sebab, tanpa ada sistem, susah menghadapi ‘gejolak’ bisnis yang ketat saat ini. Meskipun nama Pertamina Tongkang cukup dikenal di kalangan competitor, PSC dan pemerintah, tapi tidak banyak dilihat orang. Walaupun sampai kini market share Pertamina Tongkang mencapai 40%.


Lebih lanjut ditambahkan, mulai tahun ini manajemen membuat sistem yang tersusun rapi. Langkah pertama yang diambil adalah memperbaiki budaya perusahaan dan melakukan motivasi terhadap karyawan, memperbaiki manajerial. “Untuk mengukurnya kami menerapkan KPI (Key Performance Indicator-Red) secara menyeluruh sampai ke level manajer,” tambahnya seraya menambahkan total karyawan Pertamina Tongkang mencapai 800 orang.


Salah satu contoh yang dirubah Djaelani adalah pembagian bonus kepada karyawan. Karyawan berprestasi akan mendapat bonus jauh lebih besar dibandingkan yang tidak berprestasi. Sebelumnya – tidak demikian – dalam pembagian bonus keuntungan perusahaan Antara karyawan yang bekerja keras dengan karyawan yang hanya ‘duduk-duduk’ saja tidak dibedakan dalam pembagian bonus. Semuanya mendapat bonus yang sama. Hal ini tidak perlu lagi terjadi di masa mendatang.


Dengan cara demikian, cost bisa lebih efisien, keuntungan perusahaan bisa dinikmati oleh karyawan secara adil. Memang tidak mudah menciptakan persepsi bahwa adil itu tidak mesti harus sama nilai yang diterima karyawan. Nilai bonus diterima sesuai dengan prestasi karyawan. “saya selalu melakukan sosialisasi di setiap pertemuan dengan karyawan,” katanya. Sebab, masalah bonus ini sensitif, sehingga diperlukan penjelasan yang rasional yang intens. Maka dibuatlah ukuran-ukuran prestasi (KPI) untuk menentukan bonus.


“Saya menyadari bahwa gaji karyawan Pertamina Tongkang rendah. “Ini kewajiban saya untuk bagaimana kawan-kawan di sini mendapat pendapatan yang layak,” tegasnya lagi. Padahal tahun 1980-an gaji karyawan Pertamina Tongkang lebih tinggi dari gaji karyawan Pertamina Pusat. Ini kan luar biasa. Tapi, seiring dengan perjalan waktu gaji karyawan Pertamina Tongkang terpuruk. Memang tidak mudah membangkitkan kembali kejayaan karyawan Pertamina Tongkang. Pasalnya, budaya karyawan yang telah terbentuk menjadi prilaku kerja sehari-hari tidak mudah dirubah dalam sekejap. Kiat apa yang akan dilakukan untuk membentuk budaya karyawan yang kondusif?


“Beberapa waktu lalu saya mendatangkan seorang motivator untuk memotivasi karyawan. Hasilnya, setiap karyawan sekarang ketika bertemu sudah bisa saling menyapa,” ujarnya. Sedangkan dari segi marketing dan tenaga operasional di laut diberi motivasi agar bisa saling berkomunikasi.


Boleh jadi sebelumnya komunikasi hanya berlangsung di dalam departemen masing-masing. Departemen marketing berkomunikasi dengan sesamanya dan sama halnya dengan departemen lainnya. Masing-masing dari mereka tak mau tahu dengan kondisi departemen lain. “Saya menginginkan semua karyawan menjadi marketer, setiap peluang bisa ditangkap,” jelasnya. Jangan ada karyawan di luar marketing yang mendapat peluang pasar tidak langsung merespon. Minimal karyawan dapat merespon peluang pasar, selanjutnya ditindaklanjuti bagian marketing.


Untungnya, kata Djaelani, jajaran direksi di Pertamina Tongkang adalah orang baru. Kebetulan mereka mempunyai semangat yang sama. Kendati ada friksi-friksi di kalangan karyawan. Masalah ini dapat teratasi. Pengalaman menduduki beberapa posisi manajerian di sektor hilir pemasaran BBM, pelumas dan sebagainya, menjadi modal mengatasi friksi-friksi yang terjadi di kalangan karyawan di Pertamina Tongkang. “Saya menyelam ke bawah di kalangan karyawan dengan berbagai aktivitas, sehingga kini komunikasi mulai terjalin,” ujarnya serius.


Walau diakui, untuk menciptakan komunikasi sesama karyawan bukan sesuatu yang mudah Apalagi mungkin di masa lalu – komunikasi antara pucuk pimpinan dengan karyawan bawah – terbentang gap yang amat lebar. Kondisi ini yang dicoba dirubah secara pelan-pelan. Walaupun masih ada surat kaleng dalam menjalin komunikasi antara pimpinan dengan karyawan lainnya. “Padahal isi surat kaleng tersebut bagus. Kenapa pesan tersebut tidak disampaikan secara tatap muka,” urainya.


Djaelani menambahkan, dalam suatu pertemuan dengan karyawan, ternyata tidak ada satu karyawan pun yang bertanya. Kemudian dicoba merubah metode, yaitu menanyakan langsung kepada karyawan “Anda ada masalah apa?” Setelah dipancing pertanyaan seperti itu, karyawan baru berani berbicara secara terbuka.


Pada pertemuan-pertemuan pertama dengan karyawan, kata Djaelani, topiknya masih berkisar masalah hak karyawan. Pertemuan selanjutnya topiknya berubah pada masalah yang lain. Jadi, intinya adalah masalah komunikasi yang harus transparan, sehingga dapat diketahui keluh kesah karyawan.


Menurut Djaelani, akhir tahun 2008 dipaparkan hasil kinerja Pertamina Tongkang. Hasilnya ada yang baik dan ada yang baruk. Jika hasil yang buruk tersebut berkurang, hasilnya akan lebih baik lagi. Selama ini karyawan hanya tahu hasil kinerja perusahaan baik saja. Padahal jika perusahaan terkena “sentakan sedikit saja”, akan “ribut” perusahaan. Demikian perumpamaan kondisi Pertamina Tongkang.. Keuntungan perusahaan tahun 2008 mencapai Rp. 35 milyar. Keuntungan tersebut naik 50% dibandingkan tahun 2007.


Sementara program jangka pendek yang dicanangkan Djaelani adalah penguasaan kompetensi di bidangnya masing-masing, penataan adminitrasi yang bagus. Sistem ini yang segera di benahi. Kemudian rencananya tiap tahun Pertamina Tongkang harus membuat dua kapal baru. Sebab, kapal-kapal Pertamina Tongkang sebagian besar sudah tua, sedangkan kapal-kapal tersebut merupakan urat nadi perusahaan.. “Saya targetkan enam bulan, seluruh sistem sudah selesai dibuat, bahkan mudah-mudahan bisa lebih cepat,” jelasnya. Makanya dalam pertemuan dengan jajaran direksi Pertamina pusat meminta supaya keuntungan Pertamina Tongkang tidak disetorkan untuk menambahkan biaya pembuatan kapal baru.


Sedikitnya ada 18 program yang harus dijalankan pada tahun 2009 ini, diantaranya adalah sistem IT, Financial, tata cara pengadaan barang. tata cara pengadaan kapal baru, bagaimana cari dok yang bagus dan sebagainya Semua program tersebut harus bisa lebih efisien. Sebab, tahun kemarin Pertamina Tongkang kehilangan 1000 hari operation day dari potensi operasi kapal yang dimiliki Pertamina Tongkang sebanyak 17 kapal. Mestinya dari jumlah kapal tersebut bisa mencapai sekitar 5200 hari operation day, ternyata pencapaian operation day-nya hanya 4200 hari. Bila dihitung kerugian dari kehilangan 1000 hari operation day tersebut, maka kerugiannya mencapai Rp. 60 milyar.


Target tahun 2009 ini, kata Djaelani, paling tidak bisa menurunkan hilangnya operation day sebanyak 500 hari (50%) dari tahun 2008. Tapi, setelah kinerja perusahaan bagus, rasanya tak mustahil akan zero kehilangan operation day. Artinya, tahun ini tetap memperbaiki kinerja perusahaan terlebih dahulu, baru mencapai target maksimal.


Untuk mencapai target tersebut, kata Djaelani, yang perlu mendapat perhatian serius adalah perencanaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi dari kegiatan kapal. Misalnya setiap masuk dok, komponen apa saja yang harus diganti. Mengingat kapal-kapal Pertamina Tongkang ini sudah tua, sehingga manual book-nya banyak yang sudah hilang. Dengan mengetahui komponen-komponen apa yang harus diganti tiap masuk dok, maka pekerjaan di dok akan lebih cepat. “Ketika kapal masuk dok, dapat langsung dikerjakan, tanpa ada waktu yang hilang,” katanya. Sedangkan pemilihan dok akan dikembangkan dalam bentuk partnership.


Seusai lulus dari ITB, Djaelani Sutomo bergabung di Pertamina pada 1984 sebagai staf Direktorat Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri selama enam bulan di Pertamina pusat. Kemudian menjadi sales engineering selama sembilan tahun di Jakarta, Pontianak, , Menado, Makasar dan Surabaya. Bahkan Baru beberapa bulan bekerja sudah mendapat mobil dinas, walaupun plat merah.


Baru pada tahun 1994 di menduduki jabatan kepala laboratorium. Posisi ini tidak berlangsung lama, tahun 1995 mendapat tugas baru sebagai Kasubdit Pelumas Impor sampai tahun 1998. “Sebenarnya golongan saya sudah tinggi, untuk pengalaman saya ditugaskan sebagai Kepala Cabang Pertamina di Bali selama delapan bulan,” tambahnya.


Seusai itu, ia menjadi Manajer pengembangan pasar BBM pada tahun 2001 sampai 2003. Pada saat itu pemerintah menetapkan harga BBM berdasarkan perhitungan batas atas dan batas bawah.


Tak pelak lagi, kesibukan semakin mengungkung Djaelani. Tiap bulan ia harus rapat dengan Menteri ESDM. “Pertamina waktu itu mulai meluncurkan produk baru, yaitu Pertamax dan Pertamax Plus,” lanjutnya.


Dan 2003 akhir ia dipindahkan ke divisi pelumas sebagai General Manager. Tak lama di sini, ia dipindahkan sebagai Kadiv BBM dengan tugas menangani keseluruhan, dari industrinya, distribusi, ritel dan lain-lain Di sini tingkat stresnya sangat Tinggi. Bila stok BBM masuk dalam garis merah (stok hanya untuk dua hari). “Mungkin tidak ada orang merasakan kepanikan yang luar bisa. Kalau stok BBM sampai merah, sudah tidak bisa tidur. Selalu mantau posisi kapal,” ujarnya. Bisa saja tanker yang membawa BBM – tadinya menuju ke Surabaya, di tengah jalan di intruksikan kembali ke Jakarta. Hitungan efisiensi sudah tidak ada lagi. Menurut Djaelani banyak faktor yang menyebabkan stok BBM dalam garis merah. Bisa penyebabnya dari kilang, bisa faktor cuaca dan banyak faktor lainnya.


Baru ketika divisi BBM dipecah, distribusi tersendiri dan ritel tersendiri, Djaelani mendudukupi posisi Vice President Ritel dan Pricing, sebelum ia dipercaya memimpin PT. Pertamina Tongkang. “Alhamdulilah selama saya bekerja selalu meninggalkan pekerjaan yang relatif bagus,” kata Djaelani Sutomo kepada Ganesha Gazette mengunci percakapan di ruang kerjanya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar